7 Larangan PNS dalam Politik

Wednesday, February 21, 2018


"PNS itu harus netral!"

Pernah dengar komentar seperti itu, ketika kita bicara masalah partisipasi politik sebagai PNS?

Yang jadi pertanyaan, netral yang seperti apa? Bukankah sebagai warga negara, seorang PNS juga punya hak ikut berpartisipasi dalam perpolitikan? Dan lagi, sebagai manusia pasti punya kecenderungan menginginkan pemimpin yang seperti apa?

Dua hari lalu, saya mendapat kiriman gambar yang membahas hal di atas, dari seorang teman yang PNS.

Dari poin-pon yang dicantumkan, cukup menjelaskan maksud dari netralnya seorang PNS dalam aktivitas politik.

7 Larangan PNS, dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) propinsi Sumatra selatan:
PNS harus menjaga netralitas mereka selama tahun politik, yakni: tahun digelarnya pilkada, pemilu legislatif maupun pemilu presiden.  
1. DILARANG mendeklarasikan diri sebagai CALON KEPALA DAERAH.  
2. Dilarang memasang SPANDUK PROMOSI calon KEPALA DAERAH.
3. DILARANG mendekati partai politik terkait dengan rencana pengusulan dirinya atau ORANG LAIN SEBAGAI BAKAL CALON KEPALA DAERAH.
4. Dilarang mengunggah, MEMBERIKAN LIKE, MENGOMENTARI dan sejenisnya atau menyebarluaskan gambar maupun VISI MISI BAKALCALON KEPALA DAERAH melalui media online maupun melalui medsos.
5. DILARANG menjadi PEMBICARA pada kegiatan PERTEMUAN partai politik.
6. Dilarang FOTO BERSAMA dengan bakal calon kepala daerah.
7. Dilarang menghadiri DEKLARASI BAKAL CALON kepala daerah, dengan atau tanpa menggunakan ATRIBUT PARTAI POLITIK.
Pelanggaran netralitas PNS akan diberi sanksi administratif atau sanksi hukuman disiplin, mulai dari penundaan kenaikan gaji berkala sampai dengan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Dasar hukum: 
1. UU no 5/ 2014 tentang aparatur sipil negara
2. UU no 10/ 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
3. PP no. 53/ 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil.
4. PP no 42/ 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil.
5. SE KASN no. B-2900/KASN/11/2017 tgl 10 Nov 2017 tentang pengawasan pegawai ASN pada pilkada serentak 2018.
6. Surat Menpan-PB no. B/71/M,SM, 00,00/2017 tgl 27 Desember 2017 tentang pelaksanaan netralisasi.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah mendapatkan informasi ini:
1. Yang mengeluarkann informasi ini adalah BAWASLU provinsi Sumatra Selatan, BENARkah?
2. Kalau benar, apakah berlaku untuk semua propinsi di Indonesia?
3. Jika memang berlaku untuk semua wilayah di Indonesia, maka tulisan berikut bisa dibaca, jika jawabannya berita ini hoax, maka cukup sampai di sini.

Saya hendtikan dulu, sambil menunggu kejelasan dari seorang kawan jurnalis yang saya mintakan bantuannya untuk konfirmasi ke bawaslu setempat.

Alhamdulillah, terima kasih kepada Bang Adian Saputra yang telah membantu saya untuk mengetahui kebenarannya. Jawabannya: BENAR!

Kita bisa melanjutkan pembahasan tentang partisipasi politik sebagai PNS.

Kita bahas mengenai 7 larangan tersebut satu persatu, karena bagi saya, masih perlu penjelasan, mengingat sulitnya memisahkan PNS dan non PNS ketika sudah melebur di masyarakat.

1. Untuk no 1 sepertinya tidak perlu dibahas, sudah jelas, ini konskuensi pilihannya sebagai PNS. Kalau ingin menjadi kepala daerah, ya harus mengundurkan diri sebagai PNS.

2. Dilarang memasang spanduk promosi calon kepala daerah. Mungkin kekanak-kanakan, tapi perlu diperjelas, dilarang MELAKUKAN PEMASANGAN atau di rumahnya tidak boleh DIPASANG spanduk? Bagaimana kalau ada salah satu anggota keluarganya yang jadi calon dan rumahnya menjadi sekretariat team suksesnya? Bukankah anggota keluarganya yang bukan PNS mempunyai hak mencalonkan diri?

3. Mendekati? Saya kok butuh penjelasan lebih detail, ya? Soalnya ini bahasa hukum, yang kalau salah menafsirkan akan berefek pada hukuman.

4. Wah, apa sebaiknya PNS tidak usah menggunakan medsos, ya? Hampir pasti akan bertemu dengan timeline tentang pilkada, teman-temannya yang sedang mensosialisasikan diri, yang terkadang tanpa sadar jari ikut melike atau berkomentar.

5. Kalau ini nggak terlalu sulit dan sangat jelas, tidak menjadi pembicara di acara partai.

6. Hah! Ini terjadi pada teman saya, istri seorang PNS yang jadi BCAD. Waah, sayang banget loh, dilarang masuk dalam dokumentasi acara-acara istrinya, kan banyak acara-acara penting dan bersejarah untuk keluarga. Seolah suaminya bukan bagian dari dirinya, Ya Allah, kok saya jadi baper, bahkan nelongso, ya?

7. Dilarang menghadiri deklarasi, okelah, tidak datang tidak apa-apa, toh tidak menghambat pencalonannya.

Kalau semua hal di atas ditaati oleh semua PNS, bagus!  Nah, yang paling rawan, karena tidak enak hati, para PNS tidak bisa menolak saat calon dari petahana melibatkan mereka dalam pencalonan berikutnya.

7 comments:

Novi Nusaiba said...

Duh kok galau di poin ke 4. Jempol ku suka latah nge like sesecalon kepala daerah wkwk. Eh iya ding akukan bukan PNS wkwkw

nenysuswati.blogspot,com said...

Biasa aja, lageeee 😂😂

Naqiyyah Syam said...

Nah kejadian deh suami gak bisa like dan share

Dwi Septiani said...

Menjaga netralitas PNS itu penting, biar kondusif suasana kerja di kantor. Sudah risiko yang harus diterima saat kita berkomitmen untuk menjadi pegawai pemerintah. Sekarang udah full ibu rumah tangga, jadi kalo mau keliatan banget dukung salah satu calon, bebas deh.. hehe

nenysuswati.blogspot,com said...

Mungkin harus lebih berhati-hati dan teliti, Mbak naqiyyah

nenysuswati.blogspot,com said...

Bagusnya semua PNS taat dan kompak, supaya tujuan dari dibuatnya peraturan ini tercapai, perpolitikan yg sehat

Desliyani Natalia said...

agak gak bebas yah jadi PNS, hehe menyuarakan pilihannya harus diam-diam, tapi jika memang demi kebaikan its oke gak masalah.. untungnya saya hanya rakyat yang sedang belajar jadi pengusaha jadi gak ada masalah hehe...

Post a Comment