Belajar dari Drama Pelakor

Wednesday, February 21, 2018


Kemarin, beranda facebook diramaikan oleh beredarnya video rekaman, seorang perempuan sedang menghakimi perempuan lain.

Awalnya saya enggan membukanya, tetapi mengintip komentator yang begitu banyak, penasaran juga, kemudian saya tonton.

Sebuah rekaman dimana seorang perempuan yang tidak tampak di gambar, bicara meledak-ledak di hadapan seorang perempuan yang  yang duduk diam, menundukkan kepala. Tidak ada reaksi berarti, hanya menunduk mendengarkan ucapan-ucapan pedas yang menyembur dari sumber suara.

Sekilas, di hadapan perempuan itu duduk seorang laki-laki, entah siapa, dan di sisi lain ada 2 orang yang ada di ruangan itu, duduk menyaksikan apa yang terjadi.

Adegan itu sampai puncaknya ketika perempuan yang dituduh sebagai pelakor itu ditaburi uang ratusan ribu, kemudian lima puluhan ribu. Sepertinya, ini yang menginspirasi 2 video berikutnya.

Video pertama, tampak seorang perempuan dengan dandanan mirip sang pelakor, dengan posisi yang mirip, dengan suara yang mirip atau mungkin suara dari video asli. Bedanya, perempuan ini ditaburi daun-daunan.

Video berikutnya, seorang laki-laki, menggunakan sarung sebagai penutup kepala, berperan juga seperti pelakor, nah, di video ini yang ditaburkan bukan uang, bukan daun tetapi kartu remi.

Untunglah, saat saya menonton video itu, saat sendiri di kamar, anak-anak sedang di luar.

Saya jadi ingat, kejadian sekitar 40an tahun lalu, kalau tidak salah kelas 2 atau 3 SD. Di depan rumah, ada tetangga yang menyewa rumah, sebut saja namanya tante X dan om Y, mempunyai anak seumuran saya, tunggal.

Suatu siang, saat saya sedang bermain di rumahnya, ketika itu tante X tiba-tiba keluar dari kamar dengan dandanan rapi.

"Mama mau kemana?" tanya teman saya.

"Mau ikut? Yok, Neny juga ikut, bilang Mamak dulu," jawabnya, ramah.

Segera saya pulang untuk berpamitan.

Siang terik kami berjalan menuju kampung sebelah, berjarak sekitar 2 km dari rumah. Jarak segitu biasa kita jalan kaki atau bersepeda.

Sampai di tujuan, kami diajak ke warung yang berjualan es dan gorengan serta jajanan. Agak lama, sampai kemudian terlihat seorang perempuan datang di rumah tetangga yang punya warung.

"Tunggu sini dulu, ya," kata tante X meninggalkan warung tanpa menunggu jawaban saya dan anaknya.

Saya melihat tante X menghampiri perempuan langsing dan cantik tadi, yang belum sempat masuk ke rumahnya. Entah apa yang dibicarakan, saya melihat tante X bicara dengan emosi dan tangannya menuding-nuding perempuan itu. Tak lama tetangga berdatangan, tapi sepertinya mereka tidak segera melerai, mungkin karena baru satu pihak yang bicara keras dan tanpa kekerasan fisik. Atau bisa jadi mereka tidak mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain? Sampai kemudian, seorang laki-laki setengah baya menghampiri dan mengajak bicara. Terlihat tante X agak menurun emosinya dan tidak lagi bicara keras seperti tadi, mendengarkan sibapak berbicara.

Kami pulang sore hari, mendekati waktu maghrib.

"Dari mana, tho?" tanya Mamak.

"Nonton wayang, ya, Nen," jawab tante X.

Hmm, kisah yang sama dari dulu hingga kini, pelakor!

Apa yang saya pikirkan dengan kejadian ini?

1. Hebatnya media!

Dengan adanya media sosial, tidak dibutuhkan wartawan untuk mengangkatnya menjadi berita nasional, bahkan dunia. Setiap kita bisa menjadi pembuat atau menyebar berita. Apapun bisa kita unggah, selama ada kuota internet.

Hanya...sudahkah dipikirkan, mengapa mengunggahnya? Tujuannya apa? Kira-kira dampaknya bagaimana, untuk diri sendiri atau orang lain?

Untuk melakukan klik---kirim, butuh waktu tidak lebih dari 2 detik! Tetapi efeknya, bisa menghancurkan banyak jiwa dan merusak tatanan hidup orang lain, bahkan diri sendiri.

Kita tidak tahu, kapan khilaf dan berada di posisi orang yang dipermalukan dan disebarkan di media tanpa ada yang bisa menghentikannya. Bagaimana dengar keluarga dekat yang tidak terlibat dengan peristiwa itu? Terlepas dari siapa yang salah pada peristiwa orang lain, hendaknya kita bisa mengambil pelajaran, bagaimana harus lebih bijak menggunakan media dalam bersosialisasi.

2.  Perselingkuhan.

Merupakan masalah yang selalu ada di setiap zaman, karena sepertinya memang ada karakter dasar manusia untuk melakukan itu. Hanya saja, semua tergantung pada kesungguhan hati untuk tidak melakukannya.

Perselingkuhan terjadi tidak selamanya karena tak ada lagi cinta atau adanya kekurangan di salah satu pihak, terkadang awal perselingkuhan hanya iseng-iseng saja. Itulah godaan, kadang disepelekan sehingga tak sadar menjerat kuat sehingga sulit dilepaskan.

Sebagai manusia, mungkin semua kita akan marah jika dikhianati, diselingkuhi, diduakan. Kita manusia yang tidak punya kuasa se Maha Kuasanya  Allah, tidak kaya se Maha Kayanya Allah, tidak suka itu,  bagaimana dengan Allah? Sedangkan pada kenyataannya banyak manusia, mungkin termasuk kita, masih mempersekutukan Allah dalam niat, fikiran ataupun tindakan. Kita ikuti hawa nafsu tanpa berfikir bagaimana Allah tak suka, Kita sering bergantung dan berharap pada manusia, sedangkan tempat bergantung dan berharap seharusnya kepada Allah.

3. Mengumbar aib.

Semua kita mempunyai aib, hanya saja Allah menutup aib-aib itu. Sepertinya tak ada manusia yang ingin aibnya diumbar oleh orang lain, dan kalau terjadi, biasanya akan ada upaya membela diri atau membalas dengan  hal yang sama atau lebih.

Saat tulisan ini ditayangkan, sudah muncul video klarifikasi dari perempuan yang dituduh pelakor dalam video pertama. Entah, mau sampai mana urusan ini berakhir.

Apa pelajarannya bagi kita?

Semua peristiwa adalah tarbiyah dari Allah. Dia Maha Kuasa memilih hamba-hamba-Nya untuk dijadikan sebagai contoh dan pelajaran. Kita bisa belajar dari kisah-kisah terdahulu, bagaimana belajar dari keluarga Firaun, keluarga nabi Ibrahim, Nuh, Luth dan banyak lagi kisah yang Allah sampaikan dalam kitab-Nya. Dan tentunya, kita juga harus belajar dari kisah kehidupan orang-orang yang hidup di zaman ini.

0 comments:

Post a Comment